Jumat, 06 April 2012

HUKUM ACARA PERDATA DALAM PERADILAN ISLAM DAN KETENTUAN PASAL 54 UU NOMOR 7 TAHUN 1989


HUKUM ACARA PERDATA DALAM PERADILAN ISLAM DAN KETENTUAN PASAL 54 UU NOMOR 7 TAHUN 1989

Dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama diatur tentang Hukum Acara Peradilan Agama yang terdiri dari pasal 54 sampai dengan pasal 91 pasal 54 menentukan Hukum Acara  yang berlaku adalah Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan pengadilan umum, kecuali yang secara khusus yang diatur dalam undang-undang ini. Oleh karena itu, disamping hukum Acara Perdata yang terdapat dalam H.I.R dan RB.g. terdapat pula beerapa pasal ketentuan yang berisi hukum acara perdata.
         Di bawah ini diuraikan tentang hukum acara menurut peradilan dalam islam dan hukum acara perdata menurut pasal 54 UU No. 7 tahun 1989.
          Asas-asas hukum peradilan islam  secara singkat yang terdapat dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang pradilan Agama. Dalam proses beperkara menurut Syariah:
1.       Setiap orang yang cakap bertindak dapat berperkara di pengadilan secara langsung atau dengan perantara wakilnya
2.       Pengugat dan penggugat harus hadir serta di dengar keterangannya masing-masing
3.       Pemanggilan pihak-pihak yang beperkara harus dilakukan dengan patut
4.       Perlakuan yang sama terhadap pihak-pihak yang beperkara
5.       Di usahakan para pihak yang bersengketa menyelesaikan perkara mereka secara damai
6.       Peradilan diselenggarakan secara terbuka, kecuali mengenai yang menyangkut kehormatan dan masalah keluarga. Selain itu dapat ditambahkan, yaitu :
1.       Kekuasaan atau yuridiksi absolute maupun relative dari suatu badan peradilan tergantung pada tauliyah dari Negara.
2.       Pada dasarnya masyarakat berhak memperoleh pelayanan keadilan dari Negara secara Cuma-Cuma.
3.       Badan peradilan hanya satu tingkat agar perkara dapat di selesaikan dalam waktu yang relative singkat
4.       Bila salah satu mendalilkan bahwa ia mempunyai hak, sedang pihak lainnya yang membantah berkewajiban untuk membuktikannya
5.       Peristiwa yang telah terbukti, menjadi landasan hakim dalam memutuskan perkara tersebut
6.       Bayyinah atau alat-alat bukti menurut  syariah, terdirir dari ikrar (pengakuan), persaksian, surat, qarinah, atau persangkaan kuat dan
7.       Hakim mengadili berdasarkan Hukum.
Adanya lembaga tahkim diperlukan apabila anggota masyarakat yang tidak mengeteahui hukum agama terhadap peristiwa yang mereka hadapi, dan mereka merasa tidak perlu untuk mengadukan perkara tersebut kepada hakim (pengadilan).
Dalam beracara didepan pengadilan agama, ketentuan pasal 54 UU No.7 tahun 1989 menetapkan tentang hukum acara apa yang berlaku pada lingkungan peradilan ini. Pasal ini mnegaskan bahwa hukum acara yang berlaku adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada lingkungan peradilan umum , kecuali yang telah khusus di atur dalam UU ini
Dengan penegasan pasal ini, tedapat dua macam hukum acara, yaitu (1) hukum acara perdata yang diatur dalam H.I.R dan RBg (pasal 118 sampai dengan pasal 245 HIR. Dan pasal 142 sampai dengan pasal 314 RBg); dan (2) hukum acara yang secara khusus diatur dalam UU No.7 tahun 1989 pasal 54 sampai dengan pasal 91. Hal ini berarti pasal 54-91 merupakan hukum acara perdata yang berlaku di peradilan agama untuk melengkapi apa yang terdapat dalam HIR dan RBg.
Yang di atur dalam UU ini disebutkan dalam pasal 65-88, yaitu pemeriksaan sengketa perkawinan berkenaan dengan (a) cerai talak yang datang dari pihak suami (b)cerai gugat yang datang dari pihak istri maupun dari pihak suami dan (c) cerai dengan alasan zina. Dari pasal-pasal ini dapat diketahui bahwa undang-undang ini berupaya melindungi dan meningkatkan kedudukan wanita, dengan memberikan hak yang sama kepada istri dalam memajukan gugatan dan melakukan pembelaan dimuka pengadilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar