HUKUM ACARA PERDATA DALAM PERADILAN ISLAM DAN
KETENTUAN PASAL 54 UU NOMOR 7 TAHUN 1989
Dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama diatur
tentang Hukum Acara Peradilan Agama yang terdiri dari pasal 54 sampai dengan
pasal 91 pasal 54 menentukan Hukum Acara
yang berlaku adalah Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam
lingkungan pengadilan umum, kecuali yang secara khusus yang diatur dalam
undang-undang ini. Oleh karena itu, disamping hukum Acara Perdata yang terdapat
dalam H.I.R dan RB.g. terdapat pula beerapa pasal ketentuan yang berisi hukum
acara perdata.
Di bawah ini diuraikan tentang hukum acara menurut peradilan dalam islam
dan hukum acara perdata menurut pasal 54 UU No. 7 tahun 1989.
Asas-asas hukum
peradilan islam secara singkat yang terdapat
dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang pradilan Agama. Dalam proses beperkara
menurut Syariah:
1. Setiap orang yang cakap bertindak dapat
berperkara di pengadilan secara langsung atau dengan perantara wakilnya
2. Pengugat dan penggugat harus hadir serta di
dengar keterangannya masing-masing
3. Pemanggilan pihak-pihak yang beperkara harus
dilakukan dengan patut
4. Perlakuan yang sama terhadap pihak-pihak yang
beperkara
5. Di usahakan para pihak yang bersengketa
menyelesaikan perkara mereka secara damai
6. Peradilan diselenggarakan secara terbuka,
kecuali mengenai yang menyangkut kehormatan dan masalah keluarga. Selain itu
dapat ditambahkan, yaitu :
1. Kekuasaan atau yuridiksi absolute maupun
relative dari suatu badan peradilan tergantung pada tauliyah dari Negara.
2. Pada dasarnya masyarakat berhak memperoleh
pelayanan keadilan dari Negara secara Cuma-Cuma.
3. Badan peradilan hanya satu tingkat agar perkara
dapat di selesaikan dalam waktu yang relative singkat
4. Bila salah satu mendalilkan bahwa ia mempunyai
hak, sedang pihak lainnya yang membantah berkewajiban untuk membuktikannya
5. Peristiwa yang telah terbukti, menjadi landasan
hakim dalam memutuskan perkara tersebut
6. Bayyinah atau
alat-alat bukti menurut syariah,
terdirir dari ikrar (pengakuan), persaksian, surat, qarinah, atau persangkaan
kuat dan
7. Hakim mengadili berdasarkan Hukum.
Adanya lembaga tahkim
diperlukan apabila anggota masyarakat yang tidak mengeteahui hukum agama
terhadap peristiwa yang mereka hadapi, dan mereka merasa tidak perlu untuk
mengadukan perkara tersebut kepada hakim (pengadilan).
Dalam beracara didepan pengadilan
agama, ketentuan pasal 54 UU No.7 tahun 1989 menetapkan tentang hukum acara apa
yang berlaku pada lingkungan peradilan ini. Pasal ini mnegaskan bahwa hukum
acara yang berlaku adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada lingkungan
peradilan umum , kecuali yang telah khusus di atur dalam UU ini
Dengan penegasan pasal ini, tedapat
dua macam hukum acara, yaitu (1) hukum acara perdata yang diatur dalam H.I.R
dan RBg (pasal 118 sampai dengan pasal 245 HIR. Dan pasal 142 sampai dengan
pasal 314 RBg); dan (2) hukum acara yang secara khusus diatur dalam UU No.7
tahun 1989 pasal 54 sampai dengan pasal 91. Hal ini berarti pasal 54-91
merupakan hukum acara perdata yang berlaku di peradilan agama untuk melengkapi
apa yang terdapat dalam HIR dan RBg.
Yang di atur dalam UU ini disebutkan
dalam pasal 65-88, yaitu pemeriksaan sengketa perkawinan berkenaan dengan (a)
cerai talak yang datang dari pihak suami (b)cerai gugat yang datang dari pihak
istri maupun dari pihak suami dan (c) cerai dengan alasan zina. Dari
pasal-pasal ini dapat diketahui bahwa undang-undang ini berupaya melindungi dan
meningkatkan kedudukan wanita, dengan memberikan hak yang sama kepada istri
dalam memajukan gugatan dan melakukan pembelaan dimuka pengadilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar