BAB I
PENDAHULUAN
Secara garis besar Hukum Islam terbagi kepada, fikih ibadah meliputi
aturan tentang shalat, puasa, haji, nazar, dan sebagainya yang bertujuan untuk
mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya.[1]
Kedua fiqih muamalah mengatur hubungan antara manusia denagn
semuanya, seperti perikatan, sanksi hukum dan aturan lain, agar terwujud
ketertiban dan keadilan, baik secara perorangan maupun kemasyarakatan.[2]
Secara global, tujuan syara dalam menetapkan
hukum-hukumNya adalah untuk kemaslahatan manusia seluruhnya, baik kemaslahatan
di dunia yang fana ini, maupun kemaslahatan di hari yang baqa (kekal)
kelak.[3]
Allah swt berfirman :
"Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam" (QS. Al-Anbiya :
107).
Salah satu yang dilindungi demi kemaslahatan
manusia adalah memelihara keturunan, untuk ini Islam mengatur pernikahan dan
mengharamkan zina, menetapkan siapa-siapa yang tidak boleh dikawini, bagaimana
cara-cara perkawinan itu dilakukan dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi,
sehingga perkawinan itu dianggap sah dan percampuran antara dua manusia yang
berlainan jenis itu tidak dianggap zina dan anak-anak yang lahir dari hubungan
itu dianggap sah dan menjadi keturunan sah dari ayahnya.[4]
Memang tujuan perkawinan sering tidak
tercapai secara utuh, hal tersebut dapat dilihat beberapa peristiwa yang
terjadi dalam perkawinan, yaitu suami atau istri tidak melaksanakan
kewajiban-kewajiban, sehingga menimbulkan percekcokan dan pertengkaran dalam
rumah tangga. Percekcokan dan pertengkaran antara suami istri yang tidak dapat
didamaikan biasanya akan berakhir dengan jalan perceraian.
Maka pada kesempatan ini, pembahasan yang
akan disajikan pada makalah hanya terfokus pada "Nilai-Nilai Filosofis
Perkawinan dan Perceraian".
BAB II
NILAI-NILAI FILOSOFIS TENTANG PERKAWINAN DAN
PERCERAIAN
Salah satu bidang hukum Islam yang termasuk dalam muamalat
'am adalah ahwal al-syakhsiyah, yakni hukum yang menyangkut dan mengatur
tentang masalah keluarga, atau sering disebut dengan istilah Hukum Perdata
Islam.[5]
Pembahasan yang termasuk dalam ahwal al-syakhsiyah adalah ; perkawinan,
perceraian, waris, wasiat, dan hibah, serta wakaf. Pada makalah ini hanya akan
terfokus pada masalah perkawinan dan perceraian saja.
A. Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan merupakan peristiwa yang amat sakral dalam kehidupan
seseorang. Sampai-sampai seseorang atau dalam hal ini pengantin berupaya
mengabadikan upacara perkawinannya seunik mungkin, misalnya akad perkawinan
yang diselenggarakan di depan Ka'bah, bahkan ada juga yang lebih ekstrim lagi,
yakni upacara perkawinan yang dilaksanakan di udara, kedua mempelai diterjunkan
dari pesawat dan ritual dilakukan di awan dengan bantuan parasut.[6]
Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.[7]
Fuad Mohammad Fachruddin di dalam
bukunya filsafat dan hikmat syariat Islam, mendefinisikan makna
perkawinan adalah ikatan berencana antara seorang laki-laki dengan seorang
wanita yang telah dewasa atas dasar suka sama suka tanpa paksaan serta dengan
niatan membentuk bahtera rumah tangga yang sehat.[8]
Menurut KHI Pasal 2, perkawinan
menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon
gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.[9]
Sedangkan perkawinan menurut definisi secara umum adalah akad yang
menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiabn serta tolong-menolong
antara seorang laki-laki dan seorang perempauan yang bukan mahram.[10]
2. Nilai Falsafah Perkawinan
a. Perkawinan Sebagai Homo
Homini Socius
Perkawinan merupak salah satu pokok hidup
yang paling utama dalam pergaulan masyarakat yang sempurna. Allah swt berfirman
:
Artinya : "Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa di antara kamu." (QS. Al-Hujurat :
13)
Oleh karena itu, perkawinan secara
filosofis merupakan salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam
pergaulan masyarakat yang sempurna. perkawinan bukan saja hanya sebagai satu
jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan,
tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara
suatu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan
pertolongan antara satu dengan yang lainnya.[11]
b. Perkawinan Sebagai Keberlangsungan Semesta
Alam
Perkawinan juga memiliki hikmah yang lain, seperti halnya menjaga
keberlangsungan ekosistem alam semesta sampai kehancurannya nanti (The end
of world). Proses reproduksi manusia melalui perkawinan yang benar
sangatlah penting karena suatu usaha pembentukan umat yang berprike-Tuhanan,
yaitu umat yang menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan maksiat yang dilarang
oleh agama dan mengamalkan syariat Islam dengan memupuk rasa kasih sayang di
dalam sesama anggota keluarga dalam lingkup yang luas juga akan dapat
menimbulkan perdamaian dalam masyarakat yang didasarkan pada rasa cinta kasih
terhadap sesama.[12]
c. Perkawinan Sebagai Pendewasaan Akal
Perkawinan dalam pendewasaan akal maksudnya adalah menjaga manusia
dari kekeliruan dan kekacauan dalam segala kehidupan, sebab manusia mempunyai
sifat bertindak, menentukan dan bersikap, di samping hawa nafsu yang mendesak
kepada kejahatan. Hal ini sesuai dengan firman Allah yang berbunyi :
Artinya
: "Sesungguhnya hawa nafsu itu mendorong kepada kejahatan"
(QS. Yusuf : 53)
Oleh karena itu bagi agama Islam, perkawinan
itu mempunyai tujuan yang lebih menentramkan dan proses pendewasaan pikiran
seorang manusia. Dalam firmannya Allah mengatakan :
Artinya
: "Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu menyadari
(kebesaran Allah)". (QS. Adz-Dzariyat : 49)[13]
3. Nilai Falsafah Akad Perkawinan
Perkawinan tidak bisa terlepas dari akad, bahkan Ulama Mazhab
sepakat bahwa pernikahan baru dianggap sah jika dilakukan dengan akad, yang
mencakup ijab dan qabul antara wanita yang dilamar dengan lelaki
yang melamarnya, atau antara pihak yang menggantikannya seperti wakil dan wali
dan dianggap tidak sah hanya semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa
adanya akad.[14]
Menurut Quraish Shihab, akad nikah adalah kewajiban perkawinan,
sekaligus penerimaan mereka sebagai suami istri, untuk hidup bersama sebagai
pasangan dan mitra berdampingan yang menyatu dan terhimpun dalam suka dan duka.
Oleh karena itu, Islam memandang perkawinan sebagai suatu perjanjian yang kokoh
dan kuat atau mitsaqan ghalidzan, yang seharusnya dapat menumbuhkan rasa
tenang dan tentram (sakinah) dalam kehidupan berkeluarga atau berumah tangga.[15]
4. Nilai Falsafah Maskawin
Dalam Islam terdapat aturan yang mengenai pemberian sesuatu terhadap
istri. Biasanya ini dikenal dengan mahar yaitu pemberian berupa barang (harta
benda) bergerak ataupun benda tak bergerak yang diberikan oleh suami kepada
sang istri.[16]
Kendatipun mahar itu wajib, namun dalam penentuannya tetaplah harus
harus mempertimbangkan asas kesederhanaan dan kemudahan. Maksudnya, bentuk dan
harga mahar tidak boleh memberatkan calon suami dan tidak pula boleh
mengesankan asal ada atau apa adanya, sehingga calon isteri merasa dilecehkan
atau disepelekan.[17]
Pembayaran mahar sepatutnya berupa sesuatu yang memiliki nilai
sekalipun mungkin ia kecil atau bahkan sangat berharga. Sekalipun maskawin itu
tidak diberikan segera, namun ia tidak boleh ditunda dengan janji yang
mengambang.
Memang pada umumnya dalam berumah tangga pasti terdapat krikil tajam
yang suatu saat bisa menghantuinya. Sehingga jalan satu-satunya dalam
penyelesaiannya adalah talak. Untuk menyikapi hal itu, di sinilah peran aturan
mengenai maskawin. Di mana pemberian maskawin akan menghalangi seseorang untuk
cepat-cepat menjatuhkan talak.[18]
Oleh sebab itu, posisi maskawin dalam perkawinan memiliki nilai
filosofisnya yaitu sebagai pemberian rasa takut terhadap sikap pengambilan
talak secara cepat, sehingga keberlangsungan bahtera rumah tangga tetap
terjaga. Selain itu juga, maskawin memiliki nilai filosofis yaitu sebagai penunjukan
kecintaan sang laki-laki terhadap wanitanya.[19]
5. Nilai Falsafah Perkawinan Poligami
Poligami adalah sesuatu jenis perkawinan yang sangat unik. Karena
pada umumnya perkawinan dilakukan kebanyakan hanya satu pasang isteri. Tapi
berbeda dengan perkawinan poligami yang dilakukan melebihi dari satu pasangan
dengan batasan empat orang saja. Hal ini pun disinggung dalam al-Quran surat
an-Nisa ayat 129 :
Artinya : "Maka nikahlah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi dua, tiga, atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja."[20]
Dalam Islam Poligami memiliki nilai filosofis yaitu pada masa zaman
jahiliah dulu. Para pria menikahi wanita lebih dari empat, bisa puluhan,
ratusan, bahkan ribuan. Bahkan ironisnya lagi wanita tidak ada harganya di mata
pria. Tetapi ketika Islam datang, poligami telah memiliki hikmah atau mempunyai
landasan filosofis, yaitu merubah budaya yang tidak teratur dalam jumlah
pasangan hidup pria terhadap wanita. Selain itu juga kalau dilihat dari
kesejarahan Raulullah saw. poligami dijadikan nilai muatan sosial untuk
melindungi wanita yang sengsara ditinggalkan oleh suaminya yang gugur di medan
perang.[21]
Untuk konteks sekarang, mungkin poligami sangat bermuatan filosofis
sekali bagi rakyat Somalia, yang sampai sekarang negeri tersebut berkecambuk
perang saudara. Perang dilakukan oleh golongan komunis liberal dengan
nasionalis agamais demi memenangkan ideologi mereka masing-masing. Sehingga
dengan kejadian perang tersebut timbul banyak korban jiwa maupun harta benda. Dalam
hal ini kalangan wanita banyak kehilangan suaminya yang tewas akibat terlibat
dalam perang saudara. Dan dampaknya pun wanita di Somalia banyak yang menjadi
janda. Oleh sebab itulah poligami di Somalia merupakan salah satu hikmah yang
berharga dalam mengatasi persoalan para wanita Somalia yang mengalami
"kekosongan suami".[22]
B. Perceraian
1. Pengertian
Talak berasal dari kata "ithlaq"
yang menurut bahasa artinya "melepaskan atau meninggalkan".[23]
Sedangkan menurut istilah adalah melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri
hubungan suami isteri.[24]
Hukum talak itu sendiri
berbeda-beda tergantung kepada kondisi masing-masing. Apabila terjadi
perselisihan antara suami isteri dan tidak ada jalan penyelesaiannya, maka
hukumnya adalah wajib. Apabila sang isteri telah melakukan sesuatu yang dapat
mengotori kesuciannya, maka talak di situ hukumnya adalah sunah. Jika sang
suami tidak menyukai isterinya dan isterinya tidak dapat menyenangkan suami,
maka hukumnya jawaz (boleh). Sedangkan apabila si suami menjatuhkan hukum
talak kepada isteri dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci setelah
digaulinya dan belum jelas apakah si isteri hamil atau tidak, maka hukum
talaknya adalah haram.[25]
Talak biasanya terjadi
karena perselisihan antara suami isteri yang menimbulkan permusuhan, menanam
bibit kebencian antara keduanya atau terhadap kerabat mereka, sehingga tidak
ada jalan lain, sedangkan ikhtiar untuk perdamaian tidak dapat disambung lagi,
maka talak itulah jalan satu-satunya yang menjadi pemisah antara mereka,
meskipun menurut asalnya hukum talak itu makruh.[26]
Nabi SAW bersabda :
Artinya : Dari Ibnu
Umar. Ia berkata bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda, "Sesuatu yang halal
yang amat dibenci Allah ialah talak." (HR. Abu Daud)[27].
Menurut hikmah Allah,
talak itu hanya dibolehkan ketika darurat. Di antara keadilan-keadilan Islam,
membatasi talak itu agar si isteri tidak menjadi permainan di tangan suami, dan
dengan demikian Islam membatalkan suatu adat yang buruk dari adat-adat orang
Arab di zaman jahiliyah. Para suami dahulu memperlakukan isterinya dengan
perlakuan yang sangat kejam dan sangat kasar kemudian menceraikannya karena
hanya penyebab sepele, padahal niat untuk menceraikan isterinya itu sebenarnya
karena sudah merasa bosan dengan isterinya.[28]
2. Macam-Macam Talak
a. Talak Raj'I dan Ba'in
Talak Raj'i
adalah talak yang dijatuhkan kepada isteri yang sudah pernah dicampuri
suaminya, bukan talak tiga, bukan pula dilakukan dengan adanya 'iwadh,
dan dalam talak ini seorang suami masih berhak merujuk isterinya tersebut tanpa
perlu adanya mahar baru dan tanpa perlu diumumkan ke khalayak serta tanpa minta
persetujuan sang isteri, dengan catatan masa iddah sang isteri belum habis.[29]
Talak Ba'in adalah
talak yang menjadikan putusnya kehidupan suami isteri pada saat itu juga,
sehingga tidak halal lagi terjadi pergaulan suami isteri diakibatkan adanya
talak tersebut (talak tiga).[30]
b.
Talak Sunni dan Bid'i
Talak sunni adalah
talak yang dijatuhkan kepada isteri dalam keadaan suci dan belum digauli.
Talak bid'i adalah
talak yang dijatuhkan oleh suami kepada isteri yang dalam keadaan tidak suci /
haid.[31]
c. Khulu'
Khulu' adalah talak yang diucapkan oleh
suami dengan pembayaran dari pihak isteri kepada suami.[32]
3. Talak pada Zaman Sahabat Umar bin Khattab
Jika terjadi seorang
laki-laki menjatuhkan talak tiga kepada isterinya pada satu majelis, maka talak
dengan cara demikian itu dianggap jatuh satu kali talak.[33]
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas bahwa Rukanah bin Abdul Yazid
menceraikan isterinya dengan talak tiga sekaligus di tempat yang sama, kemudian
ia sangat bersedih atas isterinya itu. Lalu Rasulullah Saw bertanya,
"Bagaimana kamu menceraikannya?" Dia menjawab, "Aku
menceraikannya dengan talak tiga." Rasulullah Saw kembali bertanya,
"Apakah dalam satu tempat ?" Ia menjawab, "Ya" Lalu
Rasulullah Saw mengatakan, "Itu adalah talak satu, maka rujuklah ia jika
kau menginginkannya." Mendengar sabda Rasulullah ini kemudian Rukanah
merujuknya. Dan dalam riwayat lain dikatakan, "Maka rujukilah ia
kembali."[34]
Walau demikian, Umar bin
Khattab pernah memerintahkan agar supaya talak seperti itu dianggap sebagai
talak ba'in, tegasnya jatuh talak tiga seperti yang diucapkan. Umar menganggap
bahwa orang-orang telah mempermainkan talak semacam itu seolah-olah menjadi
kebiasaan. Jadi beliau bermaksud dengan perintahnya itu sebagai hukuman
terhadap mereka yang mempermainkan hukum dan untuk mencegah kebiasaan yang
terkutuk itu.[35]
Umar berpendapat bahwa,
seandainya fenomena ini dibiarkan begitu saja, maka akan merusak aturan talak
yang terdapat dalam al-Quran, seperti bermain-main dengan ucapan talak. Oleh
karena itu, Umar menutup semua cara dan perantara yang menyebabkan hal itu bisa
terjadi.[36]
4. Tinjauan Filosofis Perceraian dalam Islam
a. Perceraian dapat dilakukan dengan cara
berjenjang.
b. Bilangan perceraian dibatasi hanya sampai
tiga.
c. Setelah jatuh talak tiga, suami diharamkan
kembali kepada isterinya.
d. Orang yang diserahi
wewenang untuk menjatuhkan perceraian hanya suami, bukan isteri.
e. Berbeda halnya dengan pernikahan, maka tidak ada ketentuan
penggantian.
f. Dimakruhkan menjatuhkan
talak tiga sekaligus sebab penetapan tiga perceraian diperuntukkan bagi tiga
kebutuhan pada waktu yang berbeda-beda.
g. perceraian dijatuhkan
dengan sungguh-sungguh atau dengan bercanda sama saja.
h. Perceraian dijadikan
sebagai contoh perasaan pahit ketika berpisah dengan Dzat Yang Maha Penyayang.
i. Perceraian tidak menghalangi seseorang untuk merujuk mantan
isterinya.
BAB III
PENUTUP
Pernikahan
bagi umat manusia adalah sesuatu yang sangat sakral dan mempunyai tujuan yang
sakral pula, dan tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan
syariat agama. Orang yang melangsungkan sebuah pernikahan bukan semata-mata
untuk memuaskan nafsu birahi yang bertengger dalam tubuh dan jiwanya, melainkan
untuk meraih ketenangan, ketentraman dan sikap saling mengayomi di antara suami
istri dengan dilandasi cinta dan kasih sayang.[37]
Ada kalanya di dalam pernikahan terjadi
percekcokan antara suami isteri, jika hal itu tidak dapat diperbaiki kembali,
tentu kedua pihak akan merasa menderita dengan ikatan yang sedang mereka jalani
karena sudah tidak berlandaskan lagi kepada rasa cinta dan kasih sayang, yang
ada malah kebencian satu sama lain. Maka dalam keadaan genting seperti ini
Islam memberikan solusi yang terakhir yaitu talak. Meskipun ia diperbolehkan
tapi ia sangat dibenci oleh Allah, kalaupun harus terjadi perceraian secra
terpaksa, maka setelah ikatan mereka putus hendaknya sudah tidak ada lagi
kebencian dan permusuhan, tapi hubungan yang baik sebagai sesama muslim.
Semoga kita semua dikarunia keluarga yang
sakinah, mawaddah, wa rahmah, dan semoga kita dijauhkan dari percekcokan yang
membuat kita harus berpisah dari pasangan kita.
Sekian makalah yang dapat kami sampaikan,
semoga bermanfaat dan dapat menambah wawasan keilmuan kita.
DAFTAR PUSTAKA
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab. Penerjemah,
Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus al-Kaff. Jakarta : LENTERA, 2005.
Munawwir,
Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir, Surabaya : Pustaka Progressif, edisi ke
II, 2002.
Al-Khasyt, Muhammad Utsman. Fiqih Wanita Empat Madzhab. Penerjemah Abu
Nafis Ibnu Abdurrohim, Bandung : Khazanah Intelektual, cet. I, 2010.
Aripin, Jaenal, dan
Azharudin Lathif. Filsafat Hukum Islam. Jakarta : UIN Jakarta Press, cet. I, 2006.
Syah, Ismail Muhammad, dkk. Filsafat Hukum Islam.
Jakarta : Bumi Aksara, cet. II, 1992.
Arif, Saifuddin. Notariat Syariah Dalam Praktik Jilid
ke I Hukum Keluarga Islam, Jakarta : Darunnajah Publishing, 2011.
Fachruddin, Fuad Mohammad. Filsafat dan Hikmat
Syariat Islam, Jakarta : Bulan Bintang, jilid I, 1966.
Tim Redaksa. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan
Tentang Kompilasi Hukum Islam, Bandung : Fokusmedia, cet. II, 2007.
Naruddin , Amiur, dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum
Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta : KENCANA, 2006.
Rasjid , Sulaiman. Fiqh Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo, cet. 36, 2003.
Sulaiman , Abu Daud. Sunan Abi Daud, Riyad
: Darussalam, 1999.
Hasbi, Rusli. Rekonstruksi Hukum Islam : Kajian
Kritis Sahabat Terhadap Ketetapan Rasulullah Saw, Jakarta : Al-Irfan
Publishing, cet. II, 2009.
[1]
http://ahmufadillah.blogspot.com/2010/07/pengertian-filsafat-hukum-islam.html.
Diakses Ahad, 11 – 03 – 2012.
[2] Ibid.
[3] Ismail Muhammad Syah, dkk. Filsafat Hukum Islam, (Jakarta :
Bumi Aksara, 1992), cet. II, h. 65.
[4] Ibid, h. 87.
[5] Jaenal Aripin dan Azharudin
Lathif. Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2006), cet.
I, h. 115.
[6] Ibid.
[7] Saifuddin Arif. Notariat
Syariah Dalam Praktik Jilid ke I Hukum Keluarga Islam, (Jakarta :
Darunnajah Publishing, 2011), h. 127.
[8] Fuad Mohammad Fachruddin. Filsafat
dan Hikmat Syariat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1966), jilid I, h. 168.
[9] Tim Redaksa. Himpunan
Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kompilasi Hukum Islam, (Bandung :
Fokusmedia, 2007), cet. II, h. 7.
[10] Jaenal Aripin dan Azharudin Lathif. Filsafat Hukum Islam,
(Jakarta : UIN Jakarta Press, 2006), cet. I, h. 116.
[11] Ibid, h. 116-117.
[12] Ibid, h. 117.
[13] Ibid, h. 118.
[14] Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih
Lima Mazhab, (Jakarta : LENTERA, 2005), hal. 309.
[15] Jaenal Aripin dan Azharudin Lathif. Filsafat Hukum Islam,
(Jakarta : UIN Jakarta Press, 2006), cet. I, h. 119-120.
[16] Ibid, h. 120-121.
[17] Amiur Naruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam Di
Indonesia, (Jakarta : KENCANA, 2006). hal. 66.
[18] Jaenal Aripin dan Azharudin Lathif. Filsafat Hukum Islam,
(Jakarta : UIN Jakarta Press, 2006), cet. I, h. 121.
[19] Ibid.
[20] Ibid, h. 122.
[21] Ibid.
[22] Jaenal Aripin dan Azharudin
Lathif. Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2006), cet.
I, h. 123.
[23] A.W. Munawwir. Kamus
Al-Munawwir, (Surabaya : Pustaka Progressif, 2002), edisi ke II, hal. 861.
[24] Jaenal Aripin dan Azharudin
Lathif. Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2006), cet.
I, h. 123.
[25] Rusli Hasbi. Rekonstruksi
Hukum Islam : Kajian Kritis Sahabat Terhadap Ketetapan Rasulullah Saw, (Jakarta
: Al-Irfan Publishing, 2009), cet. II, h. 205.
[26] Sulaiman Rasjid. Fiqh
Islam, (Bandung
: PT. Sinar Baru Algensindo, 2003), cet.
36, hal. 401.
[27] Abu Daud Sulaiman. Sunan
Abi Daud, (Riyad : Darussalam, 1999), h. 315.
[28] Jaenal Aripin dan Azharudin
Lathif. Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2006), cet.
I, h. 123.
[29] Muhammad Utsman al-Khasyt. Fiqih
Wanita Empat Madzhab, (Bandung : Khazanah Intelektual, 2010), cet. I, h.
315-316.
[30] Ibid, h. 316.
[31] Jaenal Aripin dan Azharudin
Lathif. Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2006), cet.
I, h. 124.
[32] Sulaiman Rasjid. Fiqh
Islam, (Bandung
: PT. Sinar Baru Algensindo, 2003), cet.
36, hal. 409.
[33] Jaenal Aripin dan Azharudin
Lathif. Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2006), cet.
I, h. 124.
[34] Rusli Hasbi. Rekonstruksi
Hukum Islam : Kajian Kritis Sahabat Terhadap Ketetapan Rasulullah Saw, (Jakarta
: Al-Irfan Publishing, 2009), cet. II, h. 208.
[35] Jaenal Aripin dan Azharudin
Lathif. Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2006), cet.
I, h. 124.
[36] Rusli Hasbi. Rekonstruksi
Hukum Islam : Kajian Kritis Sahabat Terhadap Ketetapan Rasulullah Saw, (Jakarta
: Al-Irfan Publishing, 2009), cet. II, h. 217.
[37] Mohammad Asmawi, Nikah: Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta:
Darussalam, 2004), cet. I, h. 19.