Minggu, 22 April 2012

FILSAFAT HUKUM ISLAM (NILAI-NILAI FILOSOFIS TENTANG PERKAWINAN DAN PERCERAIAN)


BAB I
PENDAHULUAN
Secara garis besar Hukum Islam terbagi kepada, fikih ibadah meliputi aturan tentang shalat, puasa, haji, nazar, dan sebagainya yang bertujuan untuk mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya.[1]
Kedua fiqih muamalah mengatur hubungan antara manusia denagn semuanya, seperti perikatan, sanksi hukum dan aturan lain, agar terwujud ketertiban dan keadilan, baik secara perorangan maupun kemasyarakatan.[2]
   Secara global, tujuan syara dalam menetapkan hukum-hukumNya adalah untuk kemaslahatan manusia seluruhnya, baik kemaslahatan di dunia yang fana ini, maupun kemaslahatan di hari yang baqa (kekal) kelak.[3] Allah swt berfirman :
"Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam" (QS. Al-Anbiya : 107).
Salah satu yang dilindungi demi kemaslahatan manusia adalah memelihara keturunan, untuk ini Islam mengatur pernikahan dan mengharamkan zina, menetapkan siapa-siapa yang tidak boleh dikawini, bagaimana cara-cara perkawinan itu dilakukan dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi, sehingga perkawinan itu dianggap sah dan percampuran antara dua manusia yang berlainan jenis itu tidak dianggap zina dan anak-anak yang lahir dari hubungan itu dianggap sah dan menjadi keturunan sah dari ayahnya.[4]
Memang tujuan perkawinan sering tidak tercapai secara utuh, hal tersebut dapat dilihat beberapa peristiwa yang terjadi dalam perkawinan, yaitu suami atau istri tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban, sehingga menimbulkan percekcokan dan pertengkaran dalam rumah tangga. Percekcokan dan pertengkaran antara suami istri yang tidak dapat didamaikan biasanya akan berakhir dengan jalan perceraian.
Maka pada kesempatan ini, pembahasan yang akan disajikan pada makalah hanya terfokus pada "Nilai-Nilai Filosofis Perkawinan dan Perceraian".
BAB II
NILAI-NILAI FILOSOFIS TENTANG PERKAWINAN DAN PERCERAIAN
            Salah satu bidang hukum Islam yang termasuk dalam muamalat 'am adalah ahwal al-syakhsiyah, yakni hukum yang menyangkut dan mengatur tentang masalah keluarga, atau sering disebut dengan istilah Hukum Perdata Islam.[5] Pembahasan yang termasuk dalam ahwal al-syakhsiyah adalah ; perkawinan, perceraian, waris, wasiat, dan hibah, serta wakaf. Pada makalah ini hanya akan terfokus pada masalah perkawinan dan perceraian saja.
A.  Perkawinan
1.  Pengertian Perkawinan
Perkawinan merupakan peristiwa yang amat sakral dalam kehidupan seseorang. Sampai-sampai seseorang atau dalam hal ini pengantin berupaya mengabadikan upacara perkawinannya seunik mungkin, misalnya akad perkawinan yang diselenggarakan di depan Ka'bah, bahkan ada juga yang lebih ekstrim lagi, yakni upacara perkawinan yang dilaksanakan di udara, kedua mempelai diterjunkan dari pesawat dan ritual dilakukan di awan dengan bantuan parasut.[6]
Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[7]
            Fuad Mohammad Fachruddin di dalam bukunya filsafat dan hikmat syariat Islam, mendefinisikan makna perkawinan adalah ikatan berencana antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang telah dewasa atas dasar suka sama suka tanpa paksaan serta dengan niatan membentuk bahtera rumah tangga yang sehat.[8]
            Menurut KHI Pasal 2, perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.[9]
Sedangkan perkawinan menurut definisi secara umum adalah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiabn serta tolong-menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempauan yang bukan mahram.[10]
2.  Nilai Falsafah Perkawinan
a.   Perkawinan Sebagai Homo Homini Socius
      Perkawinan merupak salah satu pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan masyarakat yang sempurna. Allah swt berfirman :
Artinya : "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu." (QS. Al-Hujurat : 13)
      Oleh karena itu, perkawinan secara filosofis merupakan salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan masyarakat yang sempurna. perkawinan bukan saja hanya sebagai satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya.[11]
b.   Perkawinan Sebagai Keberlangsungan Semesta Alam
Perkawinan juga memiliki hikmah yang lain, seperti halnya menjaga keberlangsungan ekosistem alam semesta sampai kehancurannya nanti (The end of world). Proses reproduksi manusia melalui perkawinan yang benar sangatlah penting karena suatu usaha pembentukan umat yang berprike-Tuhanan, yaitu umat yang menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan maksiat yang dilarang oleh agama dan mengamalkan syariat Islam dengan memupuk rasa kasih sayang di dalam sesama anggota keluarga dalam lingkup yang luas juga akan dapat menimbulkan perdamaian dalam masyarakat yang didasarkan pada rasa cinta kasih terhadap sesama.[12]
c.   Perkawinan Sebagai Pendewasaan Akal
Perkawinan dalam pendewasaan akal maksudnya adalah menjaga manusia dari kekeliruan dan kekacauan dalam segala kehidupan, sebab manusia mempunyai sifat bertindak, menentukan dan bersikap, di samping hawa nafsu yang mendesak kepada kejahatan. Hal ini sesuai dengan firman Allah yang berbunyi :
Artinya : "Sesungguhnya hawa nafsu itu mendorong kepada kejahatan" (QS. Yusuf : 53)
      Oleh karena itu bagi agama Islam, perkawinan itu mempunyai tujuan yang lebih menentramkan dan proses pendewasaan pikiran seorang manusia. Dalam firmannya Allah mengatakan :
Artinya : "Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu menyadari (kebesaran Allah)". (QS. Adz-Dzariyat : 49)[13]
3.   Nilai Falsafah Akad Perkawinan
Perkawinan tidak bisa terlepas dari akad, bahkan Ulama Mazhab sepakat bahwa pernikahan baru dianggap sah jika dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab dan qabul antara wanita yang dilamar dengan lelaki yang melamarnya, atau antara pihak yang menggantikannya seperti wakil dan wali dan dianggap tidak sah hanya semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa adanya akad.[14]
Menurut Quraish Shihab, akad nikah adalah kewajiban perkawinan, sekaligus penerimaan mereka sebagai suami istri, untuk hidup bersama sebagai pasangan dan mitra berdampingan yang menyatu dan terhimpun dalam suka dan duka. Oleh karena itu, Islam memandang perkawinan sebagai suatu perjanjian yang kokoh dan kuat atau mitsaqan ghalidzan, yang seharusnya dapat menumbuhkan rasa tenang dan tentram (sakinah) dalam kehidupan berkeluarga atau berumah tangga.[15]
4.   Nilai Falsafah Maskawin
Dalam Islam terdapat aturan yang mengenai pemberian sesuatu terhadap istri. Biasanya ini dikenal dengan mahar yaitu pemberian berupa barang (harta benda) bergerak ataupun benda tak bergerak yang diberikan oleh suami kepada sang istri.[16]
Kendatipun mahar itu wajib, namun dalam penentuannya tetaplah harus harus mempertimbangkan asas kesederhanaan dan kemudahan. Maksudnya, bentuk dan harga mahar tidak boleh memberatkan calon suami dan tidak pula boleh mengesankan asal ada atau apa adanya, sehingga calon isteri merasa dilecehkan atau disepelekan.[17]
Pembayaran mahar sepatutnya berupa sesuatu yang memiliki nilai sekalipun mungkin ia kecil atau bahkan sangat berharga. Sekalipun maskawin itu tidak diberikan segera, namun ia tidak boleh ditunda dengan janji yang mengambang.
Memang pada umumnya dalam berumah tangga pasti terdapat krikil tajam yang suatu saat bisa menghantuinya. Sehingga jalan satu-satunya dalam penyelesaiannya adalah talak. Untuk menyikapi hal itu, di sinilah peran aturan mengenai maskawin. Di mana pemberian maskawin akan menghalangi seseorang untuk cepat-cepat menjatuhkan talak.[18]
Oleh sebab itu, posisi maskawin dalam perkawinan memiliki nilai filosofisnya yaitu sebagai pemberian rasa takut terhadap sikap pengambilan talak secara cepat, sehingga keberlangsungan bahtera rumah tangga tetap terjaga. Selain itu juga, maskawin memiliki nilai filosofis yaitu sebagai penunjukan kecintaan sang laki-laki terhadap wanitanya.[19]  
5.   Nilai Falsafah Perkawinan Poligami
Poligami adalah sesuatu jenis perkawinan yang sangat unik. Karena pada umumnya perkawinan dilakukan kebanyakan hanya satu pasang isteri. Tapi berbeda dengan perkawinan poligami yang dilakukan melebihi dari satu pasangan dengan batasan empat orang saja. Hal ini pun disinggung dalam al-Quran surat an-Nisa ayat 129 :
Artinya : "Maka nikahlah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau  empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja."[20]
Dalam Islam Poligami memiliki nilai filosofis yaitu pada masa zaman jahiliah dulu. Para pria menikahi wanita lebih dari empat, bisa puluhan, ratusan, bahkan ribuan. Bahkan ironisnya lagi wanita tidak ada harganya di mata pria. Tetapi ketika Islam datang, poligami telah memiliki hikmah atau mempunyai landasan filosofis, yaitu merubah budaya yang tidak teratur dalam jumlah pasangan hidup pria terhadap wanita. Selain itu juga kalau dilihat dari kesejarahan Raulullah saw. poligami dijadikan nilai muatan sosial untuk melindungi wanita yang sengsara ditinggalkan oleh suaminya yang gugur di medan perang.[21]
Untuk konteks sekarang, mungkin poligami sangat bermuatan filosofis sekali bagi rakyat Somalia, yang sampai sekarang negeri tersebut berkecambuk perang saudara. Perang dilakukan oleh golongan komunis liberal dengan nasionalis agamais demi memenangkan ideologi mereka masing-masing. Sehingga dengan kejadian perang tersebut timbul banyak korban jiwa maupun harta benda. Dalam hal ini kalangan wanita banyak kehilangan suaminya yang tewas akibat terlibat dalam perang saudara. Dan dampaknya pun wanita di Somalia banyak yang menjadi janda. Oleh sebab itulah poligami di Somalia merupakan salah satu hikmah yang berharga dalam mengatasi persoalan para wanita Somalia yang mengalami "kekosongan suami".[22]
B.  Perceraian
1.   Pengertian
Talak berasal dari kata "ithlaq" yang menurut bahasa artinya "melepaskan atau meninggalkan".[23] Sedangkan menurut istilah adalah melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri.[24]
Hukum talak itu sendiri berbeda-beda tergantung kepada kondisi masing-masing. Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri dan tidak ada jalan penyelesaiannya, maka hukumnya adalah wajib. Apabila sang isteri telah melakukan sesuatu yang dapat mengotori kesuciannya, maka talak di situ hukumnya adalah sunah. Jika sang suami tidak menyukai isterinya dan isterinya tidak dapat menyenangkan suami, maka hukumnya jawaz (boleh). Sedangkan apabila si suami menjatuhkan hukum talak kepada isteri dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci setelah digaulinya dan belum jelas apakah si isteri hamil atau tidak, maka hukum talaknya adalah haram.[25]
Talak biasanya terjadi karena perselisihan antara suami isteri yang menimbulkan permusuhan, menanam bibit kebencian antara keduanya atau terhadap kerabat mereka, sehingga tidak ada jalan lain, sedangkan ikhtiar untuk perdamaian tidak dapat disambung lagi, maka talak itulah jalan satu-satunya yang menjadi pemisah antara mereka, meskipun menurut asalnya hukum talak itu makruh.[26] Nabi SAW bersabda :
Artinya : Dari Ibnu Umar. Ia berkata bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda, "Sesuatu yang halal yang amat dibenci Allah ialah talak." (HR. Abu Daud)[27].
Menurut hikmah Allah, talak itu hanya dibolehkan ketika darurat. Di antara keadilan-keadilan Islam, membatasi talak itu agar si isteri tidak menjadi permainan di tangan suami, dan dengan demikian Islam membatalkan suatu adat yang buruk dari adat-adat orang Arab di zaman jahiliyah. Para suami dahulu memperlakukan isterinya dengan perlakuan yang sangat kejam dan sangat kasar kemudian menceraikannya karena hanya penyebab sepele, padahal niat untuk menceraikan isterinya itu sebenarnya karena sudah merasa bosan dengan isterinya.[28]
2.   Macam-Macam Talak
a.   Talak Raj'I dan Ba'in
Talak Raj'i adalah talak yang dijatuhkan kepada isteri yang sudah pernah dicampuri suaminya, bukan talak tiga, bukan pula dilakukan dengan adanya 'iwadh, dan dalam talak ini seorang suami masih berhak merujuk isterinya tersebut tanpa perlu adanya mahar baru dan tanpa perlu diumumkan ke khalayak serta tanpa minta persetujuan sang isteri, dengan catatan masa iddah sang isteri belum habis.[29]
Talak Ba'in adalah talak yang menjadikan putusnya kehidupan suami isteri pada saat itu juga, sehingga tidak halal lagi terjadi pergaulan suami isteri diakibatkan adanya talak tersebut (talak tiga).[30]
b.   Talak Sunni dan Bid'i
Talak sunni adalah talak yang dijatuhkan kepada isteri dalam keadaan suci dan belum digauli.
Talak bid'i adalah talak yang dijatuhkan oleh suami kepada isteri yang dalam keadaan tidak suci / haid.[31]
c.   Khulu'
Khulu' adalah talak yang diucapkan oleh suami dengan pembayaran dari pihak isteri kepada suami.[32]
3.   Talak pada Zaman Sahabat Umar bin Khattab
Jika terjadi seorang laki-laki menjatuhkan talak tiga kepada isterinya pada satu majelis, maka talak dengan cara demikian itu dianggap jatuh satu kali talak.[33]
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas bahwa Rukanah bin Abdul Yazid menceraikan isterinya dengan talak tiga sekaligus di tempat yang sama, kemudian ia sangat bersedih atas isterinya itu. Lalu Rasulullah Saw bertanya, "Bagaimana kamu menceraikannya?" Dia menjawab, "Aku menceraikannya dengan talak tiga." Rasulullah Saw kembali bertanya, "Apakah dalam satu tempat ?" Ia menjawab, "Ya" Lalu Rasulullah Saw mengatakan, "Itu adalah talak satu, maka rujuklah ia jika kau menginginkannya." Mendengar sabda Rasulullah ini kemudian Rukanah merujuknya. Dan dalam riwayat lain dikatakan, "Maka rujukilah ia kembali."[34]
Walau demikian, Umar bin Khattab pernah memerintahkan agar supaya talak seperti itu dianggap sebagai talak ba'in, tegasnya jatuh talak tiga seperti yang diucapkan. Umar menganggap bahwa orang-orang telah mempermainkan talak semacam itu seolah-olah menjadi kebiasaan. Jadi beliau bermaksud dengan perintahnya itu sebagai hukuman terhadap mereka yang mempermainkan hukum dan untuk mencegah kebiasaan yang terkutuk itu.[35]
Umar berpendapat bahwa, seandainya fenomena ini dibiarkan begitu saja, maka akan merusak aturan talak yang terdapat dalam al-Quran, seperti bermain-main dengan ucapan talak. Oleh karena itu, Umar menutup semua cara dan perantara yang menyebabkan hal itu bisa terjadi.[36]
4.   Tinjauan Filosofis Perceraian dalam Islam
a.   Perceraian dapat dilakukan dengan cara berjenjang.
b.   Bilangan perceraian dibatasi hanya sampai tiga.
c.   Setelah jatuh talak tiga, suami diharamkan kembali kepada isterinya.
d.  Orang yang diserahi wewenang untuk menjatuhkan perceraian hanya suami, bukan isteri.
e. Berbeda halnya dengan pernikahan, maka tidak ada ketentuan penggantian.
f.   Dimakruhkan menjatuhkan talak tiga sekaligus sebab penetapan tiga perceraian diperuntukkan bagi tiga kebutuhan pada waktu yang berbeda-beda.
g.   perceraian dijatuhkan dengan sungguh-sungguh atau dengan bercanda sama saja.
h.  Perceraian dijadikan sebagai contoh perasaan pahit ketika berpisah dengan Dzat Yang Maha Penyayang.
i. Perceraian tidak menghalangi seseorang untuk merujuk mantan isterinya.  












BAB III
PENUTUP
Pernikahan bagi umat manusia adalah sesuatu yang sangat sakral dan mempunyai tujuan yang sakral pula, dan tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan syariat agama. Orang yang melangsungkan sebuah pernikahan bukan semata-mata untuk memuaskan nafsu birahi yang bertengger dalam tubuh dan jiwanya, melainkan untuk meraih ketenangan, ketentraman dan sikap saling mengayomi di antara suami istri dengan dilandasi cinta dan kasih sayang.[37]
Ada kalanya di dalam pernikahan terjadi percekcokan antara suami isteri, jika hal itu tidak dapat diperbaiki kembali, tentu kedua pihak akan merasa menderita dengan ikatan yang sedang mereka jalani karena sudah tidak berlandaskan lagi kepada rasa cinta dan kasih sayang, yang ada malah kebencian satu sama lain. Maka dalam keadaan genting seperti ini Islam memberikan solusi yang terakhir yaitu talak. Meskipun ia diperbolehkan tapi ia sangat dibenci oleh Allah, kalaupun harus terjadi perceraian secra terpaksa, maka setelah ikatan mereka putus hendaknya sudah tidak ada lagi kebencian dan permusuhan, tapi hubungan yang baik sebagai sesama muslim.
  Semoga kita semua dikarunia keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, dan semoga kita dijauhkan dari percekcokan yang membuat kita harus berpisah dari pasangan kita.
Sekian makalah yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat dan dapat menambah wawasan keilmuan kita.








DAFTAR PUSTAKA
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab. Penerjemah, Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus al-Kaff. Jakarta : LENTERA, 2005.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir, Surabaya : Pustaka Progressif, edisi ke II, 2002.
Al-Khasyt, Muhammad Utsman.  Fiqih Wanita Empat Madzhab. Penerjemah Abu Nafis Ibnu Abdurrohim, Bandung : Khazanah Intelektual, cet. I, 2010.
Aripin, Jaenal, dan Azharudin Lathif. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press, cet. I, 2006.
Syah, Ismail Muhammad, dkk. Filsafat Hukum Islam. Jakarta : Bumi Aksara, cet. II, 1992.
Arif, Saifuddin. Notariat Syariah Dalam Praktik Jilid ke I Hukum Keluarga Islam, Jakarta : Darunnajah Publishing, 2011.
Fachruddin, Fuad Mohammad. Filsafat dan Hikmat Syariat Islam, Jakarta : Bulan Bintang, jilid I, 1966.
Tim Redaksa. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kompilasi Hukum Islam, Bandung : Fokusmedia, cet. II,  2007.
Naruddin , Amiur, dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta : KENCANA, 2006.
Rasjid , Sulaiman. Fiqh Islam, Bandung :  PT. Sinar Baru Algensindo, cet. 36, 2003.
Sulaiman , Abu Daud. Sunan Abi Daud, Riyad : Darussalam, 1999.
Hasbi, Rusli. Rekonstruksi Hukum Islam : Kajian Kritis Sahabat Terhadap Ketetapan Rasulullah Saw, Jakarta : Al-Irfan Publishing, cet. II, 2009.






[1]  http://ahmufadillah.blogspot.com/2010/07/pengertian-filsafat-hukum-islam.html.
Diakses Ahad, 11 – 03 – 2012.
[2]  Ibid.
[3] Ismail Muhammad Syah, dkk. Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1992), cet. II, h. 65.
[4]  Ibid, h. 87. 
[5]  Jaenal Aripin dan Azharudin Lathif. Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2006), cet. I, h. 115.
[6]   Ibid.
[7]   Saifuddin Arif. Notariat Syariah Dalam Praktik Jilid ke I Hukum Keluarga Islam, (Jakarta : Darunnajah Publishing, 2011), h. 127.
[8]  Fuad Mohammad Fachruddin. Filsafat dan Hikmat Syariat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1966), jilid I, h. 168.
[9]   Tim Redaksa. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kompilasi Hukum Islam, (Bandung : Fokusmedia, 2007), cet. II, h. 7.
[10] Jaenal Aripin dan Azharudin Lathif. Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2006), cet. I, h. 116.
[11]  Ibid, h. 116-117.
[12]  Ibid, h. 117.
[13]  Ibid, h. 118.
[14]  Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta : LENTERA, 2005), hal. 309.
[15] Jaenal Aripin dan Azharudin Lathif. Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2006), cet. I, h. 119-120.
[16]  Ibid, h. 120-121.
[17] Amiur Naruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : KENCANA, 2006). hal. 66.
[18] Jaenal Aripin dan Azharudin Lathif. Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2006), cet. I, h. 121.  
[19]   Ibid.
[20]   Ibid, h. 122.
[21]   Ibid.
[22]   Jaenal Aripin dan Azharudin Lathif. Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2006), cet. I, h. 123.
[23]   A.W. Munawwir. Kamus Al-Munawwir, (Surabaya : Pustaka Progressif, 2002), edisi ke II, hal. 861.
[24]   Jaenal Aripin dan Azharudin Lathif. Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2006), cet. I, h. 123.
[25]  Rusli Hasbi. Rekonstruksi Hukum Islam : Kajian Kritis Sahabat Terhadap Ketetapan Rasulullah Saw, (Jakarta : Al-Irfan Publishing, 2009), cet. II, h. 205.
[26]   Sulaiman Rasjid. Fiqh Islam, (Bandung :  PT. Sinar Baru Algensindo, 2003), cet. 36, hal. 401.
[27]   Abu Daud Sulaiman. Sunan Abi Daud, (Riyad : Darussalam, 1999), h. 315.
[28]  Jaenal Aripin dan Azharudin Lathif. Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2006), cet. I, h. 123.
[29]   Muhammad Utsman al-Khasyt. Fiqih Wanita Empat Madzhab, (Bandung : Khazanah Intelektual, 2010), cet. I, h. 315-316.
[30]   Ibid, h. 316.
[31]   Jaenal Aripin dan Azharudin Lathif. Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2006), cet. I, h. 124.
[32]   Sulaiman Rasjid. Fiqh Islam, (Bandung :  PT. Sinar Baru Algensindo, 2003), cet. 36, hal. 409.
[33]   Jaenal Aripin dan Azharudin Lathif. Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2006), cet. I, h. 124.
[34]   Rusli Hasbi. Rekonstruksi Hukum Islam : Kajian Kritis Sahabat Terhadap Ketetapan Rasulullah Saw, (Jakarta : Al-Irfan Publishing, 2009), cet. II, h. 208.
[35]  Jaenal Aripin dan Azharudin Lathif. Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2006), cet. I, h. 124.
[36]   Rusli Hasbi. Rekonstruksi Hukum Islam : Kajian Kritis Sahabat Terhadap Ketetapan Rasulullah Saw, (Jakarta : Al-Irfan Publishing, 2009), cet. II, h. 217. 
[37] Mohammad Asmawi, Nikah: Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta: Darussalam, 2004), cet. I, h. 19.

Jumat, 06 April 2012

HUKUM ACARA PERDATA DALAM PERADILAN ISLAM DAN KETENTUAN PASAL 54 UU NOMOR 7 TAHUN 1989


HUKUM ACARA PERDATA DALAM PERADILAN ISLAM DAN KETENTUAN PASAL 54 UU NOMOR 7 TAHUN 1989

Dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama diatur tentang Hukum Acara Peradilan Agama yang terdiri dari pasal 54 sampai dengan pasal 91 pasal 54 menentukan Hukum Acara  yang berlaku adalah Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan pengadilan umum, kecuali yang secara khusus yang diatur dalam undang-undang ini. Oleh karena itu, disamping hukum Acara Perdata yang terdapat dalam H.I.R dan RB.g. terdapat pula beerapa pasal ketentuan yang berisi hukum acara perdata.
         Di bawah ini diuraikan tentang hukum acara menurut peradilan dalam islam dan hukum acara perdata menurut pasal 54 UU No. 7 tahun 1989.
          Asas-asas hukum peradilan islam  secara singkat yang terdapat dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang pradilan Agama. Dalam proses beperkara menurut Syariah:
1.       Setiap orang yang cakap bertindak dapat berperkara di pengadilan secara langsung atau dengan perantara wakilnya
2.       Pengugat dan penggugat harus hadir serta di dengar keterangannya masing-masing
3.       Pemanggilan pihak-pihak yang beperkara harus dilakukan dengan patut
4.       Perlakuan yang sama terhadap pihak-pihak yang beperkara
5.       Di usahakan para pihak yang bersengketa menyelesaikan perkara mereka secara damai
6.       Peradilan diselenggarakan secara terbuka, kecuali mengenai yang menyangkut kehormatan dan masalah keluarga. Selain itu dapat ditambahkan, yaitu :
1.       Kekuasaan atau yuridiksi absolute maupun relative dari suatu badan peradilan tergantung pada tauliyah dari Negara.
2.       Pada dasarnya masyarakat berhak memperoleh pelayanan keadilan dari Negara secara Cuma-Cuma.
3.       Badan peradilan hanya satu tingkat agar perkara dapat di selesaikan dalam waktu yang relative singkat
4.       Bila salah satu mendalilkan bahwa ia mempunyai hak, sedang pihak lainnya yang membantah berkewajiban untuk membuktikannya
5.       Peristiwa yang telah terbukti, menjadi landasan hakim dalam memutuskan perkara tersebut
6.       Bayyinah atau alat-alat bukti menurut  syariah, terdirir dari ikrar (pengakuan), persaksian, surat, qarinah, atau persangkaan kuat dan
7.       Hakim mengadili berdasarkan Hukum.
Adanya lembaga tahkim diperlukan apabila anggota masyarakat yang tidak mengeteahui hukum agama terhadap peristiwa yang mereka hadapi, dan mereka merasa tidak perlu untuk mengadukan perkara tersebut kepada hakim (pengadilan).
Dalam beracara didepan pengadilan agama, ketentuan pasal 54 UU No.7 tahun 1989 menetapkan tentang hukum acara apa yang berlaku pada lingkungan peradilan ini. Pasal ini mnegaskan bahwa hukum acara yang berlaku adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada lingkungan peradilan umum , kecuali yang telah khusus di atur dalam UU ini
Dengan penegasan pasal ini, tedapat dua macam hukum acara, yaitu (1) hukum acara perdata yang diatur dalam H.I.R dan RBg (pasal 118 sampai dengan pasal 245 HIR. Dan pasal 142 sampai dengan pasal 314 RBg); dan (2) hukum acara yang secara khusus diatur dalam UU No.7 tahun 1989 pasal 54 sampai dengan pasal 91. Hal ini berarti pasal 54-91 merupakan hukum acara perdata yang berlaku di peradilan agama untuk melengkapi apa yang terdapat dalam HIR dan RBg.
Yang di atur dalam UU ini disebutkan dalam pasal 65-88, yaitu pemeriksaan sengketa perkawinan berkenaan dengan (a) cerai talak yang datang dari pihak suami (b)cerai gugat yang datang dari pihak istri maupun dari pihak suami dan (c) cerai dengan alasan zina. Dari pasal-pasal ini dapat diketahui bahwa undang-undang ini berupaya melindungi dan meningkatkan kedudukan wanita, dengan memberikan hak yang sama kepada istri dalam memajukan gugatan dan melakukan pembelaan dimuka pengadilan.